Sabtu, 26 November 2016

Kepemimpinan & contoh Kasus Kepemimpinan Transformasional, Transaksional


A.    DEFINISI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarah para pegawai dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka.
Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of directing and influencing the task related activities of group members. Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan.
Griffin (2000) membagi pengertian kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu sebagai proses, dan sebagai atribut.
Tannenbaum, Weschler, & Massarik, (1961:24), kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu
Stogdill, (1974:411), kepemimpinan adalah pembentukkan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi.
Katz & Kahn (1978:528), kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan rutin organisasi.
 Jacob&Jacques, (1990:281), kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.
Hosking, (1988:153), para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde social dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya.

Berdasarkan beberapa definisi kepemimpinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dalam memberi pengarahan dan pengaruh terhadap anggota yang akan mengalami peningkatan sedikit demi sedikit serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi.


B.     JENIS KEPEMIMPINAN
1.      Kepemimpinan Otoriter
Kepemimpinan ini menghimpun sejumlah perilaku atau gaya kepemimpinan yang bersifat terpusat pada pemimpin (sentralistik) sebagai satu-satunya penentu, penguasa dan pengendali anggota organisasi dan kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Pemimpin ini tidak mengikutsertakan dan tidak memperbolehkan bawahan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan tidak mentoleransi adanya penyimpangan. Pemimpin otoriter merasa memperoleh dan memiliki hak-hak istimewa dan harus diistimewakan oleh bawahannya.
Dampak dari kepemimpinan otoriter yang dilaksanakan pada titik ekstrim tertinggi pada kehidupan organisasi sebagaimana diuraikan di atas adalah :
  1. Anggota organisasi cenderung pasif, bekerja menunggu perintah, tidak berani mengambil keputusan dalam memecahkan masalah.
  2. Anggota organisasi tidak ikut berpartisipasi aktif bukan karena tidak mempunyai kemampuan tetapi enggan menyampaikan inisiatif, gagasan, ide, saran, dan pendapat  karena merasa tidak dihargai dan bahkan dinilai sebagai pembangkangan.
  3.  Kepemimpinan otoriter yang mematikan inisiatif, kreativitas dan lain-lain
  4. Pemimpin otoriter tidak membina dan tidak mengembangkan potensi kepemimpinan  anggota organisasinya dalam arti pemimpin tidak melakukan kegiatan sehingga sulit memperoleh pemimpin pengganti diantara anggota jika keadaan mengharuskan.
  5. Disiplin, rajin dan bersedia bekerja keras serta kepatuhan dilakukan dengan berpura-pura,karena takut pada sanksi. Dalam situasi tersebut kerap kali muncul tokoh pengambil muka atau penjilat yang tidak disukai anggota organisasi.
Tipe kepemimpinan otoriter yang dilaksanakan dari titik ekstrim tertinggi dari pergeserannya ke arah kepemimpinan demokratis, terdiri dari :
  • Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Otokrat
  •  Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Diktatoris
  • Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Otokratik Lunak (Benevolent Autocratic) 
  •  Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Diserter (Pembelot)
  • Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Missionary (Pelindung dan Penyelamat) 
  • Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Kompromi (Comprommiser) prestasi pemimpin
2.      Kepemimpinan Demokratis
Sehubungan dengan itu Sondang P.Siagian (1989, h.18) mengatakan bahwa tipe kepemimpinan yang tepat bagi seorang pemimpin adalah tipe yang demokratik dengan karakteristik sebagai berikut :
  1. Kemampuan pemimpin mengintegrasikan organisasi pada peranan dan porsi yang tepat.
  2.  Mempunyai persepsi yang holistik
  3. Menggunakan pendekatan yang integralistik
  4. Organisasi secara keseluruhan
  5. Menjunjung tinggi harkat dan martabat bawahan  
  6. Bawahan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
  7. Terbuka terhadap ide, pandangan dan saran bawahannya.
  8.  Teladan
  9. Bersifat rasional dan obyektif
  10. Memelihara kondisi kerja yang kondusif, inovatif, dan kreatif.
Sejalan dengan uraian-uraian terdahulu bahwa tipe kepemimpinan demokratis juga dapat bergerak dari titik ekstrim tertinggi yang menggambarkan gaya atau perilaku kepemimpinan sangat demokratis, sampai titik ekstrim rendah yang bertolak belakang menjadi tipe kepemimpinan otoriter. Dalam pergeseran itu tipe demokratis berlangsung dalam gaya atau perilaku kepemimpinan yang terdiri dari 
  • Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Birokrat (Bureucrat)
  • Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Pengembang dan Pembangun Organisasi (Develope
  • Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Eksekutif (Executive)
  • Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Organisatoris dan Administrator
  •   Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Resmi (Legitimate/Headmanship)
3.      Kepemimpinan Bebas ( Laissez Faire atau Fee-rein)
Kepemimpinan ini pada dasarnya berpandangan bahwa anggota organisasinya mampu mandiri dalam membuat keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing, dengan sedikit mungkin pengarahan atau pemberian petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-masing sebagai bagian dari tugas pokok organisasi.
Pemimpin free-rein seperti itu dalam mengahadapi kesalahan atau kegagalan orang yang menggantikannya melaksanakan tanggung jawab yang berat itu tanpa merasa terbebani sesuatu menyatakan bahwa yang salah bukan dirinya. Gaya atau perilaku kepemimpinan ini antara lain (a) Kepemimpinan Agitator dan (b) Kepemimpinan Simbol.
  • Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Agitator
  •  Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Simbol 
4.      Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional yaitu kemampuan untuk memberi inspirasi dan memotivasi pengikut untuk mencapai sasaran transendental daripada kepentingan diri jangka pendek serta pencapaian aktualisasi diri daripada keamanan. Dengan kepemimpinan tranformasional para pengikut merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan
penghormatan terhadap pemimpin dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang diharapkan dari mereka.
Karaktristik Pemimpin Transformasional :
Karisma, membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat dari pengikut terhadap pemimpin, dengan menanamkan kebanggaan, respek dan kepercayaan
Inspirasi, mengkomunikasikan harapan yang tinggi menggunakan simbol dan cara sederhana untuk menfokuskan upaya bawahan.
Rangsangan intelektual, meggalakan kecerdasan, rasionalitas, dan kreativitas pemecahan   masalah.
Pertimbangan individual, memberikan perhatian pribadi,memperlakukan karyawan secara individual, melatih dan menasehati, sehingga pengikut tumbuh sebagai pribadi.
5.      Kepemimpinan Transaksional
Menurut Bycio dkk. (1995), kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan di
mana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara
pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran.
Tipe Kepemimpinan Transaksional
a.       Contingent
b.      Reward
c.       Management
d.      By Exception
e.       Transactional
f.       Leadership
Bass (dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan kontingen, dan manajemen eksepsi.

C.    TEORI KEPEMIMPINAN
1.      Teori Watak atau Sifat (Trait Theory)
Teori ini menekankan keberhasilan organisasi pada diri pemimpin. Studi tentang kepemimpinan didasarkan pada karakteristik pemimpin yang berhasil. Menurut Stogdill pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang memiliki :
a. Capacity
b. Achivement
c. Responsibility
e. Status
f. Participation
Menurut Kersey, watak pemimpin dipengaruhi oleh 2 hal :
a.       Perbedaan Keinginan
Setiap orang mempunyai : motif, dorongan, tujuan dan kebutuhan yang berbeda
b.      Perbedaan Persepsi
Setiap orang memiliki : pemahaman dan cara berpikir yang berbeda
2.      Teori Perilaku ( Behavioral Theory )
Teori ini di dasarkan pada studi perilaku hubungan pemimpin dengan invidu , kelompok
dan organisasi.
 Teori Dua Dimensi
Oleh Halpin dan Winer, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Dimensi Konsiderasi dan Dimensi Struktur Inisiasi
Teori Tiga Faktor
Oleh Getzel dan Guba, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Normatif, Personal, Transaksional
Teori Empat Faktor
Oleh Lipham dan Rankin, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Struktural, Fasilitatif, Supportif, Partisipatif
Teori Tiga Dimensi
Oleh Raddin, Membagi tiga pola dasar orientasi perilaku pemimpin, yaitu : Orientasi Tugas ( Task Oriented = TO ), Orientasi Hubungan Kerja / Relation ( Relation Oriented =RO), Orientasi Hasil ( Effectiveness Oriented = E )


KASUS KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Mengenang Seorang Pemimpin Besar: Nelson Mandela [1918-2013]
Tiga bulan lalu, tepatnya pada hari Kamis tanggal 5 Desember 2013, dunia kehilangan seorang pemimpin besar, seorang pemimpin transformasional, Nelson Mandela, mantan presiden pertama Republik Afrika Selatan yang dipilih secara demokratis. Nelson Rolihlahla Mandela dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1918. Pejuang melawan ketidak-adilan. Untuk kurun waktu 200 tahun lamanya Afrika Selatan diperintah oleh sebuah pemerintahan minoritas kulit putih.
Kemampuan Mandela untuk mengkonfrotir isu-isu menjadikannya presiden kulit hitam Afrika Selatan yang pertama dalam sebuah pemilihan yang diselenggarakan secara demokratis untuk pertama kalinya. Mandela juga diakui sebagai seorang pembawa damai bagi sebuah bangsa yang telah dicabik-cabik oleh pertentangan dan kekerasan rasial yang berlangsung berabad-abad lamanya. Masa muda. Mandela tidak selalu merasa nyaman sebagai pusat perhatian umum. Pada waktu berumur 20’an awal, Mandela merasa takut berbicara di depan publik. Namun dia menyadari, bahwa apabila dia harus mempengaruhi orang – dan inilah hakikat dari kepemimpinan – maka dia harus mampu mengatasi masalah rasa takut ini. Mandela menghadapi rasa takutnya itu dan memaksa dirinya untuk berbicara dan berpidato di depan kelompok-kelompok besar yang berkumpul guna memperjuangkan kemerdekaan-sipil. Mandela memusatkan perhatiannya pada masalah rasialisme dan melupakan rasa khawatirnya.
Tidak lama setelah itu Mandela sudah biasa terlihat berdiri di hadapan ribuan orang banyak dan dia berbicara dengan berapi-api dan penuh kepercayaan-diri. Mandela mengejar tujuan-tujuan sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapainya, tanpa mengenal lelah. Sebagai seorang muda, Mandela menyadari bahwa pendidikan adakah kunci keberhasilan. “Walaupun tidak cemerlang pada waktu menjadi murid sekolah dasar, secara bertahap dia berhasil memperbaiki diri, bukan karena kecerdikan melainkan kekerasan kepala”, demikian tulis Mandela sendiri. Mandela adalah orang pertama dari keluarganya yang berhasil belajar di perguruan tinggi. Mandela studi hukum di universitas yang terkenal di Afrika Selatan, yaitu Universitas Witwaterstrand. Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, Mandela mengungkapkan bahwa dia adalah keturunan “darah biru” di wilayah Transkei di Afrika Selatan.
Ia memutuskan untuk melepaskan haknya guna menggantikan ayahnya sebagai kepala suku Tembu agar dapat belajar hukum seperti dicatat di atas. Setelah lulus sekolah hukum Mandela melihat di Afrika Selatan belum ada kantor pengacara orang hitam – dengan demikian dia membuka kantor pengacara orang hitam yang pertama di Johannesburg. Mandela menulis, “Untuk sampai ke kantor kami, kami harus berjalan melalui kerumunan orang banyak di lorong-lorong, di tangga-tangga dan dalam ruang tunggu kantor kami”. Melawan rasialisme secara teroganisir. Untuk melawan rasialisme yang dilegalisir oleh pihak yang berkuasa, pada tahun 1952 Mandela mempersatukan orang-orang berwarna kulit hitam (negro), orang-orang keturunan India dan orang-orang yang berdarah  campuran dalam “Campaign for the Defiance of Unjust Laws” (Kampanye untuk menentang hukum-hukum yang tidak adil). Untuk menjamin bahwa kampanye ini sampai menarik perhatian dunia, dengan cermat sekali Mandela merencanakan sebuah program dengan dua tahapan. “Pada tahapan pertama, sejumlah kecil sukarelawan yang telah terlatih baik akan melanggar hukum-hukum tertentu yang telah dipilih secara khusus di sejumlah kecil area di kota-kota”, kata Mandela. “Mereka akan masuk ke dalam area-area terlarang tanpa izin, menggunakan berbagai fasilitas, seperti WC, bagian-bagian dalam gerbong kereta, ruang-ruang tunggu dan pintu-pintu masuk kantor pos, yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang berkulit putih. Dengan sengaja mereka akan berdiam dalam kota (yang khusus diperuntukkan untuk orang-orang kulit putih) setelah jam malam”. Mandela memang mengetahui bahwa orang-orang Afrika Selatan yang berkulit putih dapat mencoba untuk mengabaikan orang-orang yang melakukan protes ini.
Untuk menjamin orang-orang kulit putih itu tidak mengabaikan mereka, maka Mandela mengajarkan para pendukungnya bahwa perlu untuk mempraktekkan “perlawanan massa, disertai dengan pemogokan-pemogokan”. Proses ini diulang-ulangi dari daerah yang satu ke daerah yang lain untuk selama lima bulan lamanya. Kampanye selama lima bulan ini berhasil membangkitkan kesadaran dunia tentang kekejian Apartheid dan menambah jumlah keanggotaan dalam “African National Congress (ANC) – sebuah kelompok kemerdekaan sipil yang didirikan pada tahun 1912 – dari 20.000 anggota menjadi 100.000 anggota. Gandrung akan persatuan dan kesatuan. Mandela melihat bahwa pertumbuhan ANC ini sebagai suatu kesempatan untuk mendatangkan persatuan yang lebih mendalam lagi. Pada tahun 1955, Mandela mengorganisir Kongres Rakyat (Congress of the People) untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan anti-apartheid di Afrika Selatan dan “menciptakan prinsip-prinsip demokratis yang “mengabsahkan perusahaan privat dan akan memperkenankan kapitalisme untuk bertumbuh dengan subur di antara orang-orang di Afrika Selatan”, demikian kata Mandela. Percaya kepada Demokrasi.
 Mandela selalu percaya pada demokrasi. Dia belajar mengenai demokrasi ini dari ketua suku (tribal chief) yang membesarkannya dalam sebuah kota di pedalaman Mqhekezweni setelah kematian ayahnya. Sang kepala suku menyelenggarakan rapat-rapat di mana “setiap orang didengar, ketua dan yang dipimpinnya, prajurit dan tabib, pemilik toko dan petani”, ingat Mandela. Orang-orang dapat berbicara tanpa interupsi. Percaya kepada gerakan non-kekerasan. Mandela tidak menyukai kekerasan, dan dia mendesak para pendukungnya untuk mengikuti prinsip-prinsip yang dicanangkan oleh tokoh kemerdekaan India, Mohandas Gandhi, yaitu protes dengan cara damai.
Walaupun begitu Mandela tidak menafikkan pembelaan diri. Ketika polisi Afrika Selatan melakukan kekerasan terhadap gerakan tanpa kekerasan kelompoknya, ANC tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengubah arah”, katanya. Ada sejumlah orang kulit putih mati terbunuh pada huru-hara di awal-awal. Pada tahun 1960, polisi membunuh atau melukai lebih dari 250 orang berkulit hitam di Sharpville. Akibatnya sekitar 95% tenaga kerja kulit hitam mogok bekerja selama dua minggu, dan keadaan darurat pun dideklarasikan. Kemudian Mandela mengorganisasikan tindakan-tindakan sabotase untuk semkin menekan pemerintah Afrika Selatan untuk berubah.
Target dari sabotase adalah instalasi-instalasi pemerintah namun dengan tetap menjaga tidak ada jiwa melayang dalam kampanye pemboman itu. Sementara itu Mandela masuk dalam DPO Polisi Rahasia. Untuk selama 18 bulan Mandela hidup di bawah tanah dan menyamar agar tidak ditangkap. Namun pada akhirnya pada tahun 1962 dia berhasil ditangkap dan diseret ke pengadilan yang “tidak adil” dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Kemudian dia ditaruh di penjara Robin Island untuk mengawali hidup dalam penjara yang lebih dari seperempat abad lamanya. Tidak kenal kompromi. Pada waktu pemerintah Afrika Selatan menjebloskan Mandela bersama dengan para aktivis ANC dan kelompok-kelompok kemerdekaan sipil lainnya ke dalam penjara, dia menolak untuk menyerah. Mandela bertekun selama 27 tahun hidup dalam penjara. Dari dalam penjara Mandela secara tetap mencoba untuk mengingatkan dunia akan ketidakadilan yang sedang terjadi di Afrika Selatan. Dan ia berhasil meyakinkan dunia.
Pada tahun 1985 kepadanya ditawarkan pembebasan bersyarat, namun dia menolak tawaran itu. Mandela memang bukan seorang pribadi yang suka berkompromi. Mengakui pentingnya humas dan mempraktekkannya. Mandela memahami nilai dari fungsi hubungan masyarakat (humas; public relations). Ia menggelar acara “mogok makan” dan menerbitkan pesan-pesan para penasihat hukumnya dan orang-orang lain yang diperkenankan mengunjunginya di penjara. Dia juga menerbitkan pernyataan-pernyataan yang menceritakan kepada dunia tentang pemenjaraan orang-orang yang menentang pemerintah, penyiksaan/penganiayaan atas diri mereka dan rasialisme yang dilegalisir.
Selagi negara Afrika lainnya dan negara-negara demokratis di dunia Barat menjauhi atau menjaga jarak dengan Republik Afrika Selatan, pemerintah Afrika Selatan berkali-kali menawarkan pembebasan Mandela – dengan syarat dia meninggalkan posisinya. Namun Mandela berpegang teguh pada keyakinannya. “Saya menanggapi bahwa negaralah yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi – artinya selalu pihak penindas, bukan pihak yang ditindas, yang mendiktekan bentuk perjuangan”, kata Mandela. “Bukan tergantung kepada kitalah untuk menolak kekerasan, melainkan pemerintah”. Dengan cepat Mandela menjadi suatu lambang terkenal berkaitan dengan penindasan di Afrika Selatan.
Pada bagian akhir tahun 1980an, determinasinya yang dahsyat telah menolong mempengaruhi negara-negara lain – termasuk Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Afrika Selatan sampai pemerintahnya setuju untuk mengakui semua kelompok etnis sebagai warga-warga negara dengan hak-hak yang penuh. Akhirnya, Presiden Afrika Selatan, P.W. Botha setuju untuk bertemu dengan Mandela. Negosiasi dengan pemerintahan kulit putih. Mandela kemudian disibukkan dengan berbagai negosiasi. Dia memakai waktu berjam-jam lamanya untuk bernegosiasi dengan Botha, dan kemudian dengan penggantinya, F.W. de Klerk, memaparkan tuntutan-tuntutan ANC untuk terciptanya sebuah Afrika Selatan yang baru. Dia mendesak pemerintah untuk membatalkan pelarangan ANC dan kelompok-kelompok kemerdekaan-sipil yang lain; juga menghentikan keadaan darurat yang memberikan kepada polisi kuasa untuk melakukan sweeping. Mandela juga mendesak pembebasan para tahanan politi dan menuntut bahwa mereka yang berada dalam pembuangan diperkenankan untuk kembali ke Afrika Selatan. Dibebaskan dari penjara.
Pada tanggal 2 Februari 1990, enam bulan setelah menjadi Presiden Republik Afrika Selatan, de Klerk menyetujui sebagian besar dari tuntutan-tuntutan Mandela. Sembilan hari kemudian, Mandela dibebaskan, setelah selama 27 tahun meringkuk dalam penjara. Mandela keluar dari penjura pada tanggal 11 Februari 1990 dan dia disambut meriah oleh rakyat. Setelah hening untuk beberrapa menit lamanya, dia berkata: “Para sahabat, teman seperjuangan dan sesama warga Afrika Selatan. Saya menyapa anda semua dalam nama perdamaian, demokrasi dan kebebasan untuk semua! Saya berdiri di sini dihadapan anda sekalian bukan sebagai seorang nabi, melainkan sebagai seorang abdi (pelayan) yang rendah hati dari anda, rakyat. Pengorbanan-pengorbanan anda sekalian yang tidak mengenal lelah dan penuh kepahlawanan telah membuat mungkin bagi saya untuk berada di sini hari ini.
Oleh karena itu saya menempatkan sisa-sisa tahun kehidupan saya ke dalam tangan-tangan anda.” Dalam otobiografinya Mandela menulis, “Pertama-tama saya ingin mengatakan kepada rakyat bahwa saya bukanlah seorang mesias, melainkan seorang manusia biasa yang menjadi seorang pemimpin karena keadaan yang bersifat luarbiasa (extraordinary). Saya ingin langsung berterima kasih kepada rakyat di seluruh dunia yang telah melakukan kampanye untuk pembebasan saya .... Sungguh vital bagi saya untuk menunjukkan kepada rakyatku dan pemerintah bahwa saya tidak patah (tidak berhasil dipatahkan) dan tidak tunduk (tidak berhasil ditundukkan), dan bahwa perjuangan belum selesai bagi saya, tetapi mulai baru dalam bentuk yang berbeda. Saya menegaskan bahwa saya adalah seorang anggota ANC yang loyal dan berdisiplin. Saya mendorong rakyat untuk kembali ke barikade mereka, untuk mengintensifkan perjuangan, dan kita akan menjalani mil terakhir bersama.”
Mimpi Mandela adalah Afrika Selatan yang non-rasial, bersatu dan demokratis berdasarkan peraturan voting “one person, one-vote rule”, mengungkapkan tidak adanya kebencian pada orang-orang kulit putih, melainkan menyalahkan sistem yang membuat orang-orang berwarna kulit hitam berhadapan-hadapan dengan orang-orang kulit putih sebagai lawan. Dia terus meyakinkan orang-orang kulit putih bahwa mereka juga warga Afrika Selatan, dan itu pun tanah mereka juga. Dia mengingatkan bahwa kita harus melupakan masa lampau dan mengkonsentrasikan diri pada pembangtunan masa depan yang lebih baik bagi semua orang. Menurut kata-katanya sendiri, misinya adalah mengkhotbahkan rekonsiliasi, membalut luka-luka negara, dan menimbulkan rasa percaya (trust) dan kepercayaan (confidence). Mandela berkata bahwa pada setiap kesempatan dia mengatakan semua rakyat Afrika Selatan harus bersatu sekarang, dan sambil bergandengan tangan mengatakan bahwa kita adalah satu negara, satu bangsa, satu rakyat, yang berbaris bersama menuju masa depan. Pemilihan Umum. Sekeluarnya dari penjara, perjuangan Mandela belumlah selesai. Ada visi besarnya yang belum terwujud dan situasi dalam masyarakat juga jauh dari tenteram.
Selama empat tahun ke depan, Mandela menolong memimpin negosiasi-negosiasi untuk mendirikan sebuah demokrasi di Afrika Selatan. Sebelum itu, pada tahun 1992 sebanyak 4 juta orang pekerja melakukan pemogokan untuk memprotes aturan-aturan yang dibuat orang kulit putih. Karena tekanan ini, Mandela memaksa de Klerk untuk menandatangani sebuah dokumen yang memuat garis-garis besar pemilihan multi-partai. Dan, pada akhirnya negara ini menyelenggarakan pemilihan umum yang sungguh bersifat multi-rasial di bulan April 1994. Polling pendapat menunjukkan bahwa ANC merupakan mayoritas yang besar. Walaupun begitu Mandela dan para petinggi partai lainnya tetap bekerja seakan mereka sedang menghadapi pertempuran yang keras dan sulit. Sungguh merupakan suatu tugas yang sangat berat, seperti dikatakan oleh Mandela sendiri, “Kita memprakirakan bahwa orang-orang yang akan datang ke TPS berjumlah lebih dari 20 juta orang, dan kebanyakan dari mereka akan memilih untuk pertama kalinya.
Banyak pemilih adalah orang-orang buta huruf dan mudah terintimidasi” Untuk mencapai rakyat yang tidak dapat membaca, Mandela dan kawan-kawannya melatih lebih dari 100.000 orang untuk membantu dalam registrasi para pemilih. Para caleg ANC pergi ke segala peloksok negeri sambil menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang dinamakan “forum rakyat” (people’s forum) – di desa-desa dan kota-kota kecil guna mendengarkan “pengharapan-pengharapan dan rasa taksut, ide-ide dan keluhan-keluhan, dari rakyat kita”. Tanggapan-tanggapan rakyat ini menolong partai dan platform-nya. ANC menang dengan 62,6% dari suara nasional dan 252 dari 400 kursi di National Assembly (parlemen).
Mandela diangkat menjadi presiden pada tanggal 10 Mei 1994. Untuk menghargai berbagai upaya mereka guna mengakhiri apartheid, Mandela bersama de Klerk, menerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian di tahun 1993. Turun takhta. Pada tahun 1999, Mandela “turun takhta” sebagai presiden untuk membuka jalan bagi Thabo Mbeki, yang dinominasikan sebagai presiden ANC pada tahun 1997. Setelah pengunduran diri Mandela dari pemerintah, dia melanjutkan berbagai perjalanan internasionalnya, bertemu dengan para pemimpin dunia lainnya, menghadiri konferensi-konferensi dan mengumpulkan berbagai anugerah penghargaan dari berbagai penjuru dunia (lebih dari 250 penghargaan). Mandela tetap memiliki keprihatinan atas dampak penyakit HIV-AIDS atas Afrika Selatan, seperti ditekankannya pada pidato perpisahannya kepada parlemen pada tahun 2004. Mandela juga menciptakan “Mandela Children’s Fund” untuk memperhatikan anak-anak yang miskin guna memperbaiki kualiatas kehidupan mereka. Kematiannya. Pada tanggal 5 Desember 2013, Mandela meninggal dunia dalam damai. Seperti dibuktikan pada saat-saat kematian dan pemakamannya, dia dihormati oleh banyak negara dan bangsa di dunia.
Nelson Mandela adalah seorang negarawan yang besar, seorang pemimpin yang berani, seorang pembawa damai, seorang politisi yang cemerlang, bapak dari bangsanya, dan seorang pribadi yang memahami arti sebenarnya dari pengampunan dan rekonsiliasi, seorang Kristiani yang baik. Dan, namanya tidak akan dilupakan untuk banyak tahun ke depan. Mandela adalah seorang contoh  transformational leader yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia sekarang ini.
 Jakarta, 5 Maret 2014

Frans Indrapradja

KASUS KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL
Susilo Bambang Yudhoyono
Salah satu karakter kepemimpinan SBY yang paling dominan adalah the golden middle way: politik jalan tengah. Desain presidensial yang digabungkan dengan sistem multipartai memang sebuah kombinasi ganjil, sehingga menuntut SBY melakukan konsensus dan harmoni
Scott Mainwaring (1993) mendeteksi tiga implikasi dari kombinasi sistem presidensial-multipartai. Pertama, tiadanya kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen mengakibatkan deadlock. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Kedua, dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai rentan melahirkan polarisasi ideologis. Ketiga, koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk dalam sistem presidensialisme ketimbang parlementer.
Pada titik inilah, konsensus dan kompromi dalam sistem presidensial dengan citarasa parlemen rentan mengarah pada model kepemimpinan transaksional. Yakni kepemimpinan yang melibatkan hubungan pemimpin dengan elit politik lainnya maupun elit dengan pemilih yang dibangun di atas pondasi pragmatisme dan pertukaran kepentingan ekonomi-politik serta umpan balik negatif (Burns 1978).   
Lihatlah hubungan elit politik dengan konstituen yang dirusak oleh transaksi material, bukan pertukaran gagasan. Lihat pula hubungan antarelit politik yang didominasi nafsu purba Laswellian: “who gets what, when, and how.” Gaya politik transaksional bertumpu pada konsesi politik. Profesionalisme dan meritokrasi tak lagi menjadi acuan. Ketegasan menjadi barang mahal karena terlalu banyak pertimbangan dan kalkulasi politik yang dijadikan konsideran.
Model kepemimpinan transaksional ini tumbuh subur dalam sistem politik kartel di mana APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi diperjualbelikan untuk mengikat loyalitas politik. Rakyat menjadi yatim piatu. Yatim karena pemerintah jarang hadir dalam setiap permasalahan yang dihadapi publik, tapi begitu sigap menarik pajak. Piatu karena partai-partai politik hanya menyapa pemilih menjelang pemilu.
Rakyat dihadiahi surplus politisi, tapi defisit negarawan. Politisi-par-excellence yang bersikap negarawan selalu memikirkan apa yang diwariskan bagi bangsanya ke depan. Politisi-negarawan berani bertindak tidak populer asalkan berdampak positif bagi rakyatnya. Dalam studi kepemimpinan, model transaksional selalu dibenturkan dengan kepemimpinan transformasional. Politisi-negarawan pasti menerapkan model kepemimpinan transformasional yang punya visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Tichy dan Devanna (1990) menyatakan pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi pada level individu dan organisasi. Bass dan Avolio (1994), dalam buku “Improving Organizational Efectiveness through Transformasional Leadership,” kepemimpinan transformasional dicirikan oleh “The four I’s (empat huruf ‘I’)”
Pertama, pemimpin transformasional memiliki “idealized influence,” rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tak ada elemen masyarakat, apalagi tokoh-tokoh agama dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya sedang melakukan politik kebohongan. Otentisitas menjadi mantra dan rakyatnya percaya bahwa para pemimpinnya sedang tidak bersandiwara.
Kedua, kepemimpinan transformasional mampu menggelorakan “inspirational motivation,” menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan. Pemimpin tak hanya mengaum di atas podium dan tak hanya pintar berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja. Pemimpin yang tak hanya pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilukada.
Ketiga, intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan transformasional kaya ide-ide baru dan terobosan. Pemimpin tak sekadar hadir pada setiap perayaan upacara, tapi hadir dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Dia tak terjebak pada urusan business as usual dan berpikir out of the box untuk mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak larut dalam kompromi politik. Pemimpin adalah leader, bukan dealer. Dimensi terakhir adalah “individualized consideration,” yang mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah dengan rakyatnya.
Elit pemimpin kita tersandera kepemimpinan transaksional. Mereka lebih mengedepankan konstituen ketimbang konstitusi, memprioritaskan kepentingan jangka pendek dan politik barter untuk mengamankan posisi masing-masing. Saatnya kita memperbaiki jalur kaderisasi politik kita, menyiapkan supply-side politik yang bertumpu pada azas meritokrasi dan kompetensi

DAFTAR PUSTAKA

www.kompasiana.com
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032-RAHAYU_GININTASASI/kepemimpinan.pdf
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Tipe%20dan%20Gaya%20Kepemimpinan%20(%20TM%205-6)%20.pdf
http://ymayowan.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/Bab-X-Kep-Tranformasional-dan-Transaksional.pdf