A.
DEFINISI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan dapat
diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarah para pegawai dalam melakukan
pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka.
Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of directing and influencing the task related activities of group members. Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan.
Griffin (2000) membagi pengertian kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu sebagai proses, dan sebagai atribut.
Tannenbaum, Weschler, & Massarik, (1961:24), kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu
Stogdill, (1974:411), kepemimpinan adalah pembentukkan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi.
Katz & Kahn (1978:528), kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan rutin organisasi.
Jacob&Jacques, (1990:281), kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.
Hosking, (1988:153), para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde social dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya.
Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of directing and influencing the task related activities of group members. Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan.
Griffin (2000) membagi pengertian kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu sebagai proses, dan sebagai atribut.
Tannenbaum, Weschler, & Massarik, (1961:24), kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu
Stogdill, (1974:411), kepemimpinan adalah pembentukkan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi.
Katz & Kahn (1978:528), kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan rutin organisasi.
Jacob&Jacques, (1990:281), kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.
Hosking, (1988:153), para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde social dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya.
Berdasarkan
beberapa definisi kepemimpinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
adalah suatu proses dalam memberi pengarahan dan pengaruh terhadap anggota yang
akan mengalami peningkatan sedikit demi sedikit serta pemeliharaan struktur
dalam harapan dan interaksi.
B.
JENIS KEPEMIMPINAN
1.
Kepemimpinan Otoriter
Kepemimpinan ini menghimpun sejumlah perilaku atau
gaya kepemimpinan yang bersifat terpusat pada pemimpin (sentralistik) sebagai
satu-satunya penentu, penguasa dan pengendali anggota organisasi dan
kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Pemimpin ini tidak
mengikutsertakan dan tidak memperbolehkan bawahan berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan dan tidak mentoleransi adanya penyimpangan. Pemimpin
otoriter merasa memperoleh dan memiliki hak-hak istimewa dan harus
diistimewakan oleh bawahannya.
Dampak dari kepemimpinan otoriter yang dilaksanakan pada
titik ekstrim tertinggi pada kehidupan organisasi sebagaimana diuraikan di atas
adalah :
- Anggota organisasi cenderung pasif, bekerja menunggu perintah, tidak berani mengambil keputusan dalam memecahkan masalah.
- Anggota organisasi tidak ikut berpartisipasi aktif bukan karena tidak mempunyai kemampuan tetapi enggan menyampaikan inisiatif, gagasan, ide, saran, dan pendapat karena merasa tidak dihargai dan bahkan dinilai sebagai pembangkangan.
- Kepemimpinan otoriter yang mematikan inisiatif, kreativitas dan lain-lain
- Pemimpin otoriter tidak membina dan tidak mengembangkan potensi kepemimpinan anggota organisasinya dalam arti pemimpin tidak melakukan kegiatan sehingga sulit memperoleh pemimpin pengganti diantara anggota jika keadaan mengharuskan.
- Disiplin, rajin dan bersedia bekerja keras serta kepatuhan dilakukan dengan berpura-pura,karena takut pada sanksi. Dalam situasi tersebut kerap kali muncul tokoh pengambil muka atau penjilat yang tidak disukai anggota organisasi.
Tipe kepemimpinan
otoriter yang dilaksanakan dari titik ekstrim tertinggi dari pergeserannya ke
arah kepemimpinan demokratis, terdiri dari :
- Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Otokrat
- Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Diktatoris
- Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Otokratik Lunak (Benevolent Autocratic)
- Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Diserter (Pembelot)
- Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Missionary (Pelindung dan Penyelamat)
- Perilaku atau Gaya Kepemimpinan Kompromi (Comprommiser) prestasi pemimpin
2.
Kepemimpinan Demokratis
Sehubungan
dengan itu Sondang P.Siagian (1989, h.18) mengatakan bahwa tipe kepemimpinan
yang tepat bagi seorang pemimpin adalah tipe yang demokratik dengan karakteristik
sebagai berikut :
- Kemampuan pemimpin mengintegrasikan organisasi pada peranan dan porsi yang tepat.
- Mempunyai persepsi yang holistik
- Menggunakan pendekatan yang integralistik
- Organisasi secara keseluruhan
- Menjunjung tinggi harkat dan martabat bawahan
- Bawahan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
- Terbuka terhadap ide, pandangan dan saran bawahannya.
- Teladan
- Bersifat rasional dan obyektif
- Memelihara kondisi kerja yang kondusif, inovatif, dan kreatif.
Sejalan
dengan uraian-uraian terdahulu bahwa tipe kepemimpinan demokratis juga dapat bergerak
dari titik ekstrim tertinggi yang menggambarkan gaya atau perilaku kepemimpinan
sangat demokratis, sampai titik ekstrim rendah yang bertolak belakang menjadi
tipe kepemimpinan otoriter. Dalam pergeseran itu tipe demokratis berlangsung
dalam gaya atau perilaku kepemimpinan yang terdiri dari
- Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Birokrat (Bureucrat)
- Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Pengembang dan Pembangun Organisasi (Develope
- Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Eksekutif (Executive)
- Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Organisatoris dan Administrator
- Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Resmi (Legitimate/Headmanship)
3.
Kepemimpinan Bebas ( Laissez Faire atau Fee-rein)
Kepemimpinan
ini pada dasarnya berpandangan bahwa anggota organisasinya mampu mandiri dalam
membuat keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing, dengan sedikit
mungkin pengarahan atau pemberian petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-masing
sebagai bagian dari tugas pokok organisasi.
Pemimpin
free-rein seperti itu dalam mengahadapi kesalahan atau kegagalan orang yang
menggantikannya melaksanakan tanggung jawab yang berat itu tanpa merasa terbebani
sesuatu menyatakan bahwa yang salah bukan dirinya. Gaya atau perilaku kepemimpinan
ini antara lain (a) Kepemimpinan Agitator dan (b) Kepemimpinan Simbol.
- Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Agitator
- Gaya atau Perilaku Kepemimpinan Simbol
4.
Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan
transformasional yaitu kemampuan untuk memberi inspirasi dan memotivasi
pengikut untuk mencapai sasaran transendental daripada kepentingan diri jangka
pendek serta pencapaian aktualisasi diri daripada keamanan. Dengan kepemimpinan
tranformasional para pengikut merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan
penghormatan
terhadap pemimpin dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang diharapkan
dari mereka.
Karaktristik Pemimpin Transformasional :
Karisma, membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat dari pengikut terhadap pemimpin, dengan menanamkan kebanggaan, respek dan kepercayaan
Inspirasi, mengkomunikasikan harapan yang tinggi menggunakan simbol dan cara sederhana untuk menfokuskan upaya bawahan.
Rangsangan intelektual, meggalakan kecerdasan, rasionalitas, dan kreativitas pemecahan masalah.
Pertimbangan individual, memberikan perhatian pribadi,memperlakukan karyawan secara individual, melatih dan menasehati, sehingga pengikut tumbuh sebagai pribadi.
Karaktristik Pemimpin Transformasional :
Karisma, membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat dari pengikut terhadap pemimpin, dengan menanamkan kebanggaan, respek dan kepercayaan
Inspirasi, mengkomunikasikan harapan yang tinggi menggunakan simbol dan cara sederhana untuk menfokuskan upaya bawahan.
Rangsangan intelektual, meggalakan kecerdasan, rasionalitas, dan kreativitas pemecahan masalah.
Pertimbangan individual, memberikan perhatian pribadi,memperlakukan karyawan secara individual, melatih dan menasehati, sehingga pengikut tumbuh sebagai pribadi.
5.
Kepemimpinan Transaksional
Menurut
Bycio dkk. (1995), kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan di
mana
seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara
pemimpin
dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran.
Tipe
Kepemimpinan Transaksional
a.
Contingent
b.
Reward
c.
Management
d.
By Exception
e.
Transactional
f.
Leadership
Bass
(dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan bahwa karakteristik kepemimpinan
transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan kontingen, dan manajemen
eksepsi.
C.
TEORI KEPEMIMPINAN
1.
Teori Watak atau
Sifat (Trait Theory)
Teori
ini menekankan keberhasilan organisasi pada diri pemimpin. Studi tentang
kepemimpinan didasarkan pada karakteristik pemimpin yang berhasil. Menurut
Stogdill pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang memiliki :
a.
Capacity
b. Achivement
c. Responsibility
e. Status
f. Participation
Menurut Kersey, watak pemimpin dipengaruhi oleh 2 hal
:
a.
Perbedaan
Keinginan
Setiap
orang mempunyai : motif, dorongan, tujuan dan kebutuhan yang berbeda
b.
Perbedaan Persepsi
Setiap
orang memiliki : pemahaman dan cara berpikir yang berbeda
2.
Teori Perilaku (
Behavioral Theory )
Teori
ini di dasarkan pada studi perilaku hubungan pemimpin dengan invidu , kelompok
dan
organisasi.
Teori Dua Dimensi
Oleh Halpin dan Winer, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Dimensi Konsiderasi dan Dimensi Struktur Inisiasi
Teori Tiga Faktor
Oleh Getzel dan Guba, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Normatif, Personal, Transaksional
Teori Empat Faktor
Oleh Lipham dan Rankin, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Struktural, Fasilitatif, Supportif, Partisipatif
Teori Tiga Dimensi
Oleh Raddin, Membagi tiga pola dasar orientasi perilaku pemimpin, yaitu : Orientasi Tugas ( Task Oriented = TO ), Orientasi Hubungan Kerja / Relation ( Relation Oriented =RO), Orientasi Hasil ( Effectiveness Oriented = E )
Teori Dua Dimensi
Oleh Halpin dan Winer, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Dimensi Konsiderasi dan Dimensi Struktur Inisiasi
Teori Tiga Faktor
Oleh Getzel dan Guba, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Normatif, Personal, Transaksional
Teori Empat Faktor
Oleh Lipham dan Rankin, perilaku pemimpin cenderung mengarah pada : Struktural, Fasilitatif, Supportif, Partisipatif
Teori Tiga Dimensi
Oleh Raddin, Membagi tiga pola dasar orientasi perilaku pemimpin, yaitu : Orientasi Tugas ( Task Oriented = TO ), Orientasi Hubungan Kerja / Relation ( Relation Oriented =RO), Orientasi Hasil ( Effectiveness Oriented = E )
KASUS KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Mengenang
Seorang Pemimpin Besar: Nelson Mandela [1918-2013]
Tiga
bulan lalu, tepatnya pada hari Kamis tanggal 5 Desember 2013, dunia kehilangan
seorang pemimpin besar, seorang pemimpin transformasional, Nelson Mandela,
mantan presiden pertama Republik Afrika Selatan yang dipilih secara demokratis.
Nelson Rolihlahla Mandela dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1918. Pejuang melawan
ketidak-adilan. Untuk kurun waktu 200 tahun lamanya Afrika Selatan diperintah
oleh sebuah pemerintahan minoritas kulit putih.
Kemampuan
Mandela untuk mengkonfrotir isu-isu menjadikannya presiden kulit hitam Afrika
Selatan yang pertama dalam sebuah pemilihan yang diselenggarakan secara
demokratis untuk pertama kalinya. Mandela juga diakui sebagai seorang pembawa
damai bagi sebuah bangsa yang telah dicabik-cabik oleh pertentangan dan
kekerasan rasial yang berlangsung berabad-abad lamanya. Masa muda. Mandela
tidak selalu merasa nyaman sebagai pusat perhatian umum. Pada waktu berumur
20’an awal, Mandela merasa takut berbicara di depan publik. Namun dia
menyadari, bahwa apabila dia harus mempengaruhi orang – dan inilah hakikat dari
kepemimpinan – maka dia harus mampu mengatasi masalah rasa takut ini. Mandela
menghadapi rasa takutnya itu dan memaksa dirinya untuk berbicara dan berpidato
di depan kelompok-kelompok besar yang berkumpul guna memperjuangkan
kemerdekaan-sipil. Mandela memusatkan perhatiannya pada masalah rasialisme dan
melupakan rasa khawatirnya.
Tidak
lama setelah itu Mandela sudah biasa terlihat berdiri di hadapan ribuan orang
banyak dan dia berbicara dengan berapi-api dan penuh kepercayaan-diri. Mandela
mengejar tujuan-tujuan sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapainya, tanpa
mengenal lelah. Sebagai seorang muda, Mandela menyadari bahwa pendidikan adakah
kunci keberhasilan. “Walaupun tidak cemerlang pada waktu menjadi murid sekolah
dasar, secara bertahap dia berhasil memperbaiki diri, bukan karena kecerdikan
melainkan kekerasan kepala”, demikian tulis Mandela sendiri. Mandela adalah
orang pertama dari keluarganya yang berhasil belajar di perguruan tinggi. Mandela
studi hukum di universitas yang terkenal di Afrika Selatan, yaitu Universitas
Witwaterstrand. Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, Mandela
mengungkapkan bahwa dia adalah keturunan “darah biru” di wilayah Transkei di
Afrika Selatan.
Ia
memutuskan untuk melepaskan haknya guna menggantikan ayahnya sebagai kepala
suku Tembu agar dapat belajar hukum seperti dicatat di atas. Setelah lulus
sekolah hukum Mandela melihat di Afrika Selatan belum ada kantor pengacara
orang hitam – dengan demikian dia membuka kantor pengacara orang hitam yang
pertama di Johannesburg. Mandela menulis, “Untuk sampai ke kantor kami, kami
harus berjalan melalui kerumunan orang banyak di lorong-lorong, di
tangga-tangga dan dalam ruang tunggu kantor kami”. Melawan rasialisme secara teroganisir.
Untuk melawan rasialisme yang dilegalisir oleh pihak yang berkuasa, pada tahun
1952 Mandela mempersatukan orang-orang berwarna kulit hitam (negro),
orang-orang keturunan India dan orang-orang yang berdarah campuran dalam “Campaign for the Defiance of
Unjust Laws” (Kampanye untuk menentang hukum-hukum yang tidak adil). Untuk
menjamin bahwa kampanye ini sampai menarik perhatian dunia, dengan cermat
sekali Mandela merencanakan sebuah program dengan dua tahapan. “Pada tahapan
pertama, sejumlah kecil sukarelawan yang telah terlatih baik akan melanggar
hukum-hukum tertentu yang telah dipilih secara khusus di sejumlah kecil area di
kota-kota”, kata Mandela. “Mereka akan masuk ke dalam area-area terlarang tanpa
izin, menggunakan berbagai fasilitas, seperti WC, bagian-bagian dalam gerbong
kereta, ruang-ruang tunggu dan pintu-pintu masuk kantor pos, yang khusus
diperuntukkan bagi orang-orang berkulit putih. Dengan sengaja mereka akan
berdiam dalam kota (yang khusus diperuntukkan untuk orang-orang kulit putih)
setelah jam malam”. Mandela memang mengetahui bahwa orang-orang Afrika Selatan
yang berkulit putih dapat mencoba untuk mengabaikan orang-orang yang melakukan
protes ini.
Untuk
menjamin orang-orang kulit putih itu tidak mengabaikan mereka, maka Mandela mengajarkan
para pendukungnya bahwa perlu untuk mempraktekkan “perlawanan massa, disertai
dengan pemogokan-pemogokan”. Proses ini diulang-ulangi dari daerah yang satu ke
daerah yang lain untuk selama lima bulan lamanya. Kampanye selama lima bulan
ini berhasil membangkitkan kesadaran dunia tentang kekejian Apartheid dan
menambah jumlah keanggotaan dalam “African National Congress (ANC) – sebuah
kelompok kemerdekaan sipil yang didirikan pada tahun 1912 – dari 20.000 anggota
menjadi 100.000 anggota. Gandrung akan persatuan dan kesatuan. Mandela melihat
bahwa pertumbuhan ANC ini sebagai suatu kesempatan untuk mendatangkan persatuan
yang lebih mendalam lagi. Pada tahun 1955, Mandela mengorganisir Kongres Rakyat
(Congress of the People) untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan anti-apartheid
di Afrika Selatan dan “menciptakan prinsip-prinsip demokratis yang
“mengabsahkan perusahaan privat dan akan memperkenankan kapitalisme untuk
bertumbuh dengan subur di antara orang-orang di Afrika Selatan”, demikian kata
Mandela. Percaya kepada Demokrasi.
Mandela selalu percaya pada demokrasi. Dia
belajar mengenai demokrasi ini dari ketua suku (tribal chief) yang
membesarkannya dalam sebuah kota di pedalaman Mqhekezweni setelah kematian
ayahnya. Sang kepala suku menyelenggarakan rapat-rapat di mana “setiap orang
didengar, ketua dan yang dipimpinnya, prajurit dan tabib, pemilik toko dan
petani”, ingat Mandela. Orang-orang dapat berbicara tanpa interupsi. Percaya
kepada gerakan non-kekerasan. Mandela tidak menyukai kekerasan, dan dia mendesak
para pendukungnya untuk mengikuti prinsip-prinsip yang dicanangkan oleh tokoh
kemerdekaan India, Mohandas Gandhi, yaitu protes dengan cara damai.
Walaupun
begitu Mandela tidak menafikkan pembelaan diri. Ketika polisi Afrika Selatan
melakukan kekerasan terhadap gerakan tanpa kekerasan kelompoknya, ANC tidak
mempunyai pilihan lain kecuali mengubah arah”, katanya. Ada sejumlah orang
kulit putih mati terbunuh pada huru-hara di awal-awal. Pada tahun 1960, polisi
membunuh atau melukai lebih dari 250 orang berkulit hitam di Sharpville.
Akibatnya sekitar 95% tenaga kerja kulit hitam mogok bekerja selama dua minggu,
dan keadaan darurat pun dideklarasikan. Kemudian Mandela mengorganisasikan
tindakan-tindakan sabotase untuk semkin menekan pemerintah Afrika Selatan untuk
berubah.
Target
dari sabotase adalah instalasi-instalasi pemerintah namun dengan tetap menjaga
tidak ada jiwa melayang dalam kampanye pemboman itu. Sementara itu Mandela
masuk dalam DPO Polisi Rahasia. Untuk selama 18 bulan Mandela hidup di bawah tanah
dan menyamar agar tidak ditangkap. Namun pada akhirnya pada tahun 1962 dia
berhasil ditangkap dan diseret ke pengadilan yang “tidak adil” dan kemudian
dijebloskan ke dalam penjara. Kemudian dia ditaruh di penjara Robin Island
untuk mengawali hidup dalam penjara yang lebih dari seperempat abad lamanya.
Tidak kenal kompromi. Pada waktu pemerintah Afrika Selatan menjebloskan Mandela
bersama dengan para aktivis ANC dan kelompok-kelompok kemerdekaan sipil lainnya
ke dalam penjara, dia menolak untuk menyerah. Mandela bertekun selama 27 tahun
hidup dalam penjara. Dari dalam penjara Mandela secara tetap mencoba untuk
mengingatkan dunia akan ketidakadilan yang sedang terjadi di Afrika Selatan.
Dan ia berhasil meyakinkan dunia.
Pada
tahun 1985 kepadanya ditawarkan pembebasan bersyarat, namun dia menolak tawaran
itu. Mandela memang bukan seorang pribadi yang suka berkompromi. Mengakui
pentingnya humas dan mempraktekkannya. Mandela memahami nilai dari fungsi
hubungan masyarakat (humas; public relations). Ia menggelar acara “mogok makan”
dan menerbitkan pesan-pesan para penasihat hukumnya dan orang-orang lain yang
diperkenankan mengunjunginya di penjara. Dia juga menerbitkan
pernyataan-pernyataan yang menceritakan kepada dunia tentang pemenjaraan
orang-orang yang menentang pemerintah, penyiksaan/penganiayaan atas diri mereka
dan rasialisme yang dilegalisir.
Selagi
negara Afrika lainnya dan negara-negara demokratis di dunia Barat menjauhi atau
menjaga jarak dengan Republik Afrika Selatan, pemerintah Afrika Selatan berkali-kali
menawarkan pembebasan Mandela – dengan syarat dia meninggalkan posisinya. Namun
Mandela berpegang teguh pada keyakinannya. “Saya menanggapi bahwa negaralah
yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi – artinya selalu pihak
penindas, bukan pihak yang ditindas, yang mendiktekan bentuk perjuangan”, kata
Mandela. “Bukan tergantung kepada kitalah untuk menolak kekerasan, melainkan
pemerintah”. Dengan cepat Mandela menjadi suatu lambang terkenal berkaitan
dengan penindasan di Afrika Selatan.
Pada
bagian akhir tahun 1980an, determinasinya yang dahsyat telah menolong
mempengaruhi negara-negara lain – termasuk Amerika Serikat untuk menjatuhkan
sanksi terhadap Afrika Selatan sampai pemerintahnya setuju untuk mengakui semua
kelompok etnis sebagai warga-warga negara dengan hak-hak yang penuh. Akhirnya,
Presiden Afrika Selatan, P.W. Botha setuju untuk bertemu dengan Mandela.
Negosiasi dengan pemerintahan kulit putih. Mandela kemudian disibukkan dengan
berbagai negosiasi. Dia memakai waktu berjam-jam lamanya untuk bernegosiasi
dengan Botha, dan kemudian dengan penggantinya, F.W. de Klerk, memaparkan
tuntutan-tuntutan ANC untuk terciptanya sebuah Afrika Selatan yang baru. Dia
mendesak pemerintah untuk membatalkan pelarangan ANC dan kelompok-kelompok
kemerdekaan-sipil yang lain; juga menghentikan keadaan darurat yang memberikan
kepada polisi kuasa untuk melakukan sweeping. Mandela juga mendesak pembebasan
para tahanan politi dan menuntut bahwa mereka yang berada dalam pembuangan
diperkenankan untuk kembali ke Afrika Selatan. Dibebaskan dari penjara.
Pada
tanggal 2 Februari 1990, enam bulan setelah menjadi Presiden Republik Afrika
Selatan, de Klerk menyetujui sebagian besar dari tuntutan-tuntutan Mandela.
Sembilan hari kemudian, Mandela dibebaskan, setelah selama 27 tahun meringkuk
dalam penjara. Mandela keluar dari penjura pada tanggal 11 Februari 1990 dan
dia disambut meriah oleh rakyat. Setelah hening untuk beberrapa menit lamanya,
dia berkata: “Para sahabat, teman seperjuangan dan sesama warga Afrika Selatan.
Saya menyapa anda semua dalam nama perdamaian, demokrasi dan kebebasan untuk
semua! Saya berdiri di sini dihadapan anda sekalian bukan sebagai seorang nabi,
melainkan sebagai seorang abdi (pelayan) yang rendah hati dari anda, rakyat.
Pengorbanan-pengorbanan anda sekalian yang tidak mengenal lelah dan penuh
kepahlawanan telah membuat mungkin bagi saya untuk berada di sini hari ini.
Oleh
karena itu saya menempatkan sisa-sisa tahun kehidupan saya ke dalam
tangan-tangan anda.” Dalam otobiografinya Mandela menulis, “Pertama-tama saya
ingin mengatakan kepada rakyat bahwa saya bukanlah seorang mesias, melainkan
seorang manusia biasa yang menjadi seorang pemimpin karena keadaan yang
bersifat luarbiasa (extraordinary). Saya ingin langsung berterima kasih kepada
rakyat di seluruh dunia yang telah melakukan kampanye untuk pembebasan saya
.... Sungguh vital bagi saya untuk menunjukkan kepada rakyatku dan pemerintah
bahwa saya tidak patah (tidak berhasil dipatahkan) dan tidak tunduk (tidak
berhasil ditundukkan), dan bahwa perjuangan belum selesai bagi saya, tetapi
mulai baru dalam bentuk yang berbeda. Saya menegaskan bahwa saya adalah seorang
anggota ANC yang loyal dan berdisiplin. Saya mendorong rakyat untuk kembali ke
barikade mereka, untuk mengintensifkan perjuangan, dan kita akan menjalani mil
terakhir bersama.”
Mimpi
Mandela adalah Afrika Selatan yang non-rasial, bersatu dan demokratis
berdasarkan peraturan voting “one person, one-vote rule”, mengungkapkan tidak
adanya kebencian pada orang-orang kulit putih, melainkan menyalahkan sistem
yang membuat orang-orang berwarna kulit hitam berhadapan-hadapan dengan
orang-orang kulit putih sebagai lawan. Dia terus meyakinkan orang-orang kulit
putih bahwa mereka juga warga Afrika Selatan, dan itu pun tanah mereka juga.
Dia mengingatkan bahwa kita harus melupakan masa lampau dan mengkonsentrasikan
diri pada pembangtunan masa depan yang lebih baik bagi semua orang. Menurut
kata-katanya sendiri, misinya adalah mengkhotbahkan rekonsiliasi, membalut
luka-luka negara, dan menimbulkan rasa percaya (trust) dan kepercayaan
(confidence). Mandela berkata bahwa pada setiap kesempatan dia mengatakan semua
rakyat Afrika Selatan harus bersatu sekarang, dan sambil bergandengan tangan
mengatakan bahwa kita adalah satu negara, satu bangsa, satu rakyat, yang
berbaris bersama menuju masa depan. Pemilihan Umum. Sekeluarnya dari penjara,
perjuangan Mandela belumlah selesai. Ada visi besarnya yang belum terwujud dan
situasi dalam masyarakat juga jauh dari tenteram.
Selama
empat tahun ke depan, Mandela menolong memimpin negosiasi-negosiasi untuk
mendirikan sebuah demokrasi di Afrika Selatan. Sebelum itu, pada tahun 1992
sebanyak 4 juta orang pekerja melakukan pemogokan untuk memprotes aturan-aturan
yang dibuat orang kulit putih. Karena tekanan ini, Mandela memaksa de Klerk
untuk menandatangani sebuah dokumen yang memuat garis-garis besar pemilihan
multi-partai. Dan, pada akhirnya negara ini menyelenggarakan pemilihan umum
yang sungguh bersifat multi-rasial di bulan April 1994. Polling pendapat
menunjukkan bahwa ANC merupakan mayoritas yang besar. Walaupun begitu Mandela
dan para petinggi partai lainnya tetap bekerja seakan mereka sedang menghadapi
pertempuran yang keras dan sulit. Sungguh merupakan suatu tugas yang sangat
berat, seperti dikatakan oleh Mandela sendiri, “Kita memprakirakan bahwa
orang-orang yang akan datang ke TPS berjumlah lebih dari 20 juta orang, dan
kebanyakan dari mereka akan memilih untuk pertama kalinya.
Banyak
pemilih adalah orang-orang buta huruf dan mudah terintimidasi” Untuk mencapai
rakyat yang tidak dapat membaca, Mandela dan kawan-kawannya melatih lebih dari
100.000 orang untuk membantu dalam registrasi para pemilih. Para caleg ANC
pergi ke segala peloksok negeri sambil menyelenggarakan pertemuan-pertemuan
yang dinamakan “forum rakyat” (people’s forum) – di desa-desa dan kota-kota
kecil guna mendengarkan “pengharapan-pengharapan dan rasa taksut, ide-ide dan
keluhan-keluhan, dari rakyat kita”. Tanggapan-tanggapan rakyat ini menolong
partai dan platform-nya. ANC menang dengan 62,6% dari suara nasional dan 252
dari 400 kursi di National Assembly (parlemen).
Mandela
diangkat menjadi presiden pada tanggal 10 Mei 1994. Untuk menghargai berbagai
upaya mereka guna mengakhiri apartheid, Mandela bersama de Klerk, menerima
Hadiah Nobel untuk Perdamaian di tahun 1993. Turun takhta. Pada tahun 1999,
Mandela “turun takhta” sebagai presiden untuk membuka jalan bagi Thabo Mbeki,
yang dinominasikan sebagai presiden ANC pada tahun 1997. Setelah pengunduran
diri Mandela dari pemerintah, dia melanjutkan berbagai perjalanan
internasionalnya, bertemu dengan para pemimpin dunia lainnya, menghadiri
konferensi-konferensi dan mengumpulkan berbagai anugerah penghargaan dari
berbagai penjuru dunia (lebih dari 250 penghargaan). Mandela tetap memiliki
keprihatinan atas dampak penyakit HIV-AIDS atas Afrika Selatan, seperti
ditekankannya pada pidato perpisahannya kepada parlemen pada tahun 2004.
Mandela juga menciptakan “Mandela Children’s Fund” untuk memperhatikan
anak-anak yang miskin guna memperbaiki kualiatas kehidupan mereka. Kematiannya.
Pada tanggal 5 Desember 2013, Mandela meninggal dunia dalam damai. Seperti
dibuktikan pada saat-saat kematian dan pemakamannya, dia dihormati oleh banyak
negara dan bangsa di dunia.
Nelson
Mandela adalah seorang negarawan yang besar, seorang pemimpin yang berani,
seorang pembawa damai, seorang politisi yang cemerlang, bapak dari bangsanya,
dan seorang pribadi yang memahami arti sebenarnya dari pengampunan dan
rekonsiliasi, seorang Kristiani yang baik. Dan, namanya tidak akan dilupakan
untuk banyak tahun ke depan. Mandela adalah seorang contoh transformational leader yang sangat
dibutuhkan oleh Indonesia sekarang ini.
Jakarta, 5 Maret 2014
Frans Indrapradja
KASUS KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL
Salah
satu karakter kepemimpinan SBY yang paling dominan adalah the golden middle
way: politik jalan tengah. Desain presidensial yang digabungkan dengan sistem
multipartai memang sebuah kombinasi ganjil, sehingga menuntut SBY melakukan
konsensus dan harmoni
Scott
Mainwaring (1993) mendeteksi tiga implikasi dari kombinasi sistem
presidensial-multipartai. Pertama, tiadanya kekuatan mayoritas partai yang
menguasai parlemen mengakibatkan deadlock. Realitas ini memberi peluang bagi
DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Kedua,
dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai rentan melahirkan
polarisasi ideologis. Ketiga, koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk
dalam sistem presidensialisme ketimbang parlementer.
Pada
titik inilah, konsensus dan kompromi dalam sistem presidensial dengan citarasa
parlemen rentan mengarah pada model kepemimpinan transaksional. Yakni
kepemimpinan yang melibatkan hubungan pemimpin dengan elit politik lainnya
maupun elit dengan pemilih yang dibangun di atas pondasi pragmatisme dan
pertukaran kepentingan ekonomi-politik serta umpan balik negatif (Burns 1978).
Lihatlah
hubungan elit politik dengan konstituen yang dirusak oleh transaksi material,
bukan pertukaran gagasan. Lihat pula hubungan antarelit politik yang didominasi
nafsu purba Laswellian: “who gets what, when, and how.” Gaya politik
transaksional bertumpu pada konsesi politik. Profesionalisme dan meritokrasi
tak lagi menjadi acuan. Ketegasan menjadi barang mahal karena terlalu banyak
pertimbangan dan kalkulasi politik yang dijadikan konsideran.
Model
kepemimpinan transaksional ini tumbuh subur dalam sistem politik kartel di mana
APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi diperjualbelikan untuk mengikat
loyalitas politik. Rakyat menjadi yatim piatu. Yatim karena pemerintah jarang
hadir dalam setiap permasalahan yang dihadapi publik, tapi begitu sigap menarik
pajak. Piatu karena partai-partai politik hanya menyapa pemilih menjelang
pemilu.
Rakyat
dihadiahi surplus politisi, tapi defisit negarawan. Politisi-par-excellence
yang bersikap negarawan selalu memikirkan apa yang diwariskan bagi bangsanya ke
depan. Politisi-negarawan berani bertindak tidak populer asalkan berdampak
positif bagi rakyatnya. Dalam studi kepemimpinan, model transaksional selalu
dibenturkan dengan kepemimpinan transformasional. Politisi-negarawan pasti
menerapkan model kepemimpinan transformasional yang punya visi masa depan dan
menolak transaksi politik jangka pendek. Tichy dan Devanna (1990) menyatakan
pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi pada level
individu dan organisasi. Bass dan Avolio (1994), dalam buku “Improving
Organizational Efectiveness through Transformasional Leadership,” kepemimpinan
transformasional dicirikan oleh “The four I’s (empat huruf ‘I’)”
Pertama,
pemimpin transformasional memiliki “idealized influence,” rakyat dibuat
berdecak kagum, hormat dan percaya. Tak ada elemen masyarakat, apalagi
tokoh-tokoh agama dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya sedang melakukan
politik kebohongan. Otentisitas menjadi mantra dan rakyatnya percaya bahwa para
pemimpinnya sedang tidak bersandiwara.
Kedua,
kepemimpinan transformasional mampu menggelorakan “inspirational motivation,”
menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan
menjadi kenyataan. Pemimpin tak hanya mengaum di atas podium dan tak hanya
pintar berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja. Pemimpin yang tak hanya pintar
bersolek di depan kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk pada masa
pemilukada.
Ketiga,
intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan transformasional kaya ide-ide baru
dan terobosan. Pemimpin tak sekadar hadir pada setiap perayaan upacara, tapi
hadir dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Dia tak
terjebak pada urusan business as usual dan berpikir out of the box untuk
mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak larut dalam kompromi politik. Pemimpin adalah
leader, bukan dealer. Dimensi terakhir adalah “individualized consideration,”
yang mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya.
Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah dengan
rakyatnya.
Elit
pemimpin kita tersandera kepemimpinan transaksional. Mereka lebih mengedepankan
konstituen ketimbang konstitusi, memprioritaskan kepentingan jangka pendek dan
politik barter untuk mengamankan posisi masing-masing. Saatnya kita memperbaiki
jalur kaderisasi politik kita, menyiapkan supply-side politik yang bertumpu
pada azas meritokrasi dan kompetensi
DAFTAR PUSTAKA
www.kompasiana.com
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032-RAHAYU_GININTASASI/kepemimpinan.pdf
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Tipe%20dan%20Gaya%20Kepemimpinan%20(%20TM%205-6)%20.pdf
http://ymayowan.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/Bab-X-Kep-Tranformasional-dan-Transaksional.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar